Life is Never Flat Part 2


Akhirnya hari yang 'sepertinya' ditunggu-tunggu tiba. Perlu ditekankan pada kata sepertinya ya, karena kurasa aku tidak terlalu menunggu-nunggu hari ini. Yah seperti tanggal yang sudah ditetapkan, hari ini genap 2 minggu dan akhirnya aku menikah dengan balado kentang. Ijab Qabul telah diucap dan kata sah telah diteriakkan. Dan sekarang kata 'halal' ada di tengah-tengah hubunganku dengan balado kentang. Halal halal halal. Berarti harus siap dinikmati. Aish, horor sekali rasanya membayangkan hal itu.
Resepsi pernikahan kami diadakan sederhana seperti yang aku minta. Dan karena aku benar-benar malas membayangkan harus dipajang sampai malam hari, jadi aku meminta resepsi kami dilaksanakan sampai siang hari saja. Plus menyalami tamu yang masih datang setelah acara sudah usai, jadilah selepas magrib kami baru bisa beristirahat.
Dan inilah kami sekarang, duduk berdua di ranjangku yang sementara akan menjadi ranjang kami sebelum nantinya kami akan pindah ke kontrakan yang sudah balado kentang siapkan. Hanya duduk tepekur saling menatap aneh satu sama lain.
Kuamati balado kentang yang saat ini memakai jas rapi demi menyapa tamu-tamu yang masih saja berdatangan meskipun resepsi sudah usai. Ganteng sih, tetapi menurutku lebih ganteng saat dia memakai kaos dan celana jeans biasa. Atau mentok memakai kemeja saat dirinya berangkat kerja. Tidak pantas dia bergaya seperti orang kaya di drama-drama yang biasanya kutonton. Wajahnya tidak memadai untuk itu, menurutku.
Sedang mencibir penampilan balado kentang dalam hati saat tiba-tiba kulihat balado kentang menunjuk ke wajahku, atau tepatnya ke bibirku (?). "I...tu." ucapnya dengan ekspresi biasa saja.
Emak! Jangan bilang dia nunjuk-nunjuk bibirku sebagai isyarat bahwa dia meminta haknya dengan garis start bibirku? Tidak tidak tidak. Dengan segera aku menutup bibirku rapat dengan telapak tanganku.
"A-pa?" tanyaku masih menutupi bibirku dengan telapak tangan.
"Itu...cuci muka geh. Berasa lagi nonton pantomim rasanya." ucapnya santai dan segera berdiri menuju lemariku di mana tadi pagi beberapa pakaian balado kentang ditata di sana.
APA? Pantomim? Dukun manten susah-susah ngerias biar aku kelihat cantik pas akad nikah tapi cuma dibilang kaya pantomim sama manten lakinya. Geblek bener ni orang. Nggak bisa apa muji dikit biar terpaksa juga. Muji demi kebaikan kan nggak dosa. Ah, emang susah berurusan sama balado kentang.
"Kalau situ bilang kaya pantomim malah males cuci muka aku. Biarin ajah begini. Biar situ nanti mimpi buruk dikejar-kejar pantomim gila!" jawabku ketus.
"He'eh ngambek ngambeeek ceritanya."
Sebodo! Dengan kesal aku membaringkan tubuhku ke kasur. Hah, lelahnya. Baru akan memejamkan mata saat tiba-tiba teringat sesuatu.
"Balado kentang, kita kan udah nikah nih." ucapku memandangnya yang entah sejak kapan sudah mengganti jas yang dipakainya dengan baju rumahan. Perasaan aku belum sempat menutup mataku.
"He'um." jawabnya dengan mengambil sebuah handuk. Kurasa dia berniat untuk mandi.
"Terus kalau udah nikah?"
"Eum…kalau udah nikah sih biasanya pengantin baru bakalan kikuk kikuk atau ihik ihik atau enguk enguk atau...."
"Stop! Bukan itu maksudku. Ih, dasar mesum." Aku segera menghentikan pembicaraannya yang sudah menjurus ke area berbahaya. Aih, emang sih kami dah halal, tapi aku masih belum bisa membayangkan untuk berihik-ihik dengan balado kentang. Apalagi harus berenguk-enguk. Huweee mengerikan!
"Terus maksudnya yang mana?" tanyanya memandangku heran. "Kan kamu sendiri yang nanya tadi, terus kalau udah nikah?" Balado kentang menirukan perkataanku tadi dengan gayanya yang nggak banget.
"Iya. Tapi bukan itu maksudku. Ck." ucapku kesal.
"Kemarin kan kamu bilang yang penting kita nikah dulu. Nah sekarang kita udah nikah terus gimana? Hubungan kita kan nggak sedeket itu buat berihik ihik atau berenguk enguk? Lagian aku nggak siap ya buat digrepe-grepe situ." tambahku lagi menjelaskan maksud perkataanku tadi dengan agak lebay sembari menyilangkan kedua tanganku di depan dada.
"Ck, aku juga nggak siap kecewa kali. Begitu buka kado ternyata isinya cuma talenan. Datar lurus tanpa benjolan empuk-empuk anget." ucapnya menyebalkan. Tadi pantomim? Sekarang talenan? Besok apalagi coba? Kayanya hidup sama balado kentang beneran harus siap dihina dina deh. Rese!
"Tau ah! Percuma kayanya ngomong sama kamu tu. Nggak bakal ada ujungnya. Mending pergi sonoh. Aku mau tidur." ucapku mengusirnya supaya keluar dari kamar.
"Yah! Situ jadi cewek jorok banget sih. Itu muka masih kaya pantomim. Cuci geh. Jerawatan ntar baru tau rasa!" ucapnya menoyor kepalaku yang sedang asyik membaringkan badan di kasur.
“Biarin! Kalau muka jerawatan kan situ kagak bakal doyan sama eyke.” ucapku yang langsung mendapat cibiran darinya.
“Doyan-doyan aja. Kan tinggal muka situ ditutup bantal atau selimut. Selese masalah. Yang penting lobangnya coy. Bukan mukanya.” Ebuseeettt. Ngomong nggak pakai corong asal jeplak aja ni orang. Songong ye! Dengan kesal aku langsung mengambil bantal untuk kulemparkan padanya. Sebenarnya lebih pengen melempar mulutnya yang sembarangan itu. Namun ternyata aku kalah cepat, dia sudah berlari keluar kamar meninggalkan gema tawa sumbangnya di sini. Aih, menyebalkan sekali si balado kentang. Kan kan kan, bulu kudukku langsung merinding gara-gara kata-katanya tentang lubang tadi. Huweee, kayanya neraka duniaku sudah dimulai dari sekarang deh. Ah, gimana kalau malam ini balado kentang nuntut haknya beneran? Aku harus bagaimana? Wajib kan, nggak boleh nolak suami? Ya elah, baru kali ini aku ngerasain pengen banget mens biar bebas dari kewajiban ihik ihik bersama suami. Eh, tapi dosa nggak sih berdoa mens biar lepas dari tanggung jawab melayani suami? Alamak! Tau ah! Streeeeesss!
~oOo~

Rasanya baru memejamkan mata sebentar saat tiba-tiba ada benda dingin nan basah terasa di wajahku. Eh eh eh, apa ini? Dengan segera kubuka mataku. Dan betapa menyebalkannya saat benda yang basah dan dingin tadi ternyata handuk yang tadi kulihat dibawa oleh balado kentang. Dengan kesal kulemparkan handuk tadi ke sembarang arah.
“Yah! Nggak bisa biarin orang istirahat banget sih!” amukku padanya. Padahal rasanya baru beberapa detik aku terlelap dan sekarang sudah diganggu oleh orang paling menyebalkan yang pernah ada, yang sekarang merangkap sebagai suamiku.
“Nggak bakalan sebelum kamu ilangin tu riasan pantomim.”
“Ck, males ah.” ucapku dan kembali memejamkan mataku.
“Eum, atau begini saja, aku yang ilangin riasanmu?” tanyanya yang tiba-tiba sudah ada di atas ranjang di sampingku dan mulai mencondongkan wajahnya ke arahku.
“Wo wo wo wo. Mau apa?” tanyaku menahan wajahnya yang sudah mendekati wajahku dan menjauhkan wajahku sesegera mungkin. Dengan panik aku segera bangkit dari posisi berbaringku dan menjaga jarak darinya sejauh mungkin.
“Bersihin riasanmu.” jawabnya santai.
“Pakai?” tanyaku bingung sembari mengamatinya. Perasaan dia tidak membawa toner pembersih wajah dan kapas. Terus? Mau bersihin pakai apa?
“Pakai ludah dan lidahku.” jawaban telak yang langsung membuatku berjengit menyingkir darinya.
“Ogah!” teriakku sebelum akhirnya lari keluar dari kamar. Kabur dari satu-satunya ancaman yang ada bagiku saat ini. Mengerikan! Aku sudah menikahi pria yang sangat mengerikan. Sayup-sayup kudengar tawanya dari dalam kamar. Entah dia berniat bercanda atau menggodaku tadi, tapi aku benar-benar ngeri karenanya. Ya Allah, lindungilah hamba-Mu ini dari suami mesum dan mengerikan itu.
Dengan malas akhirnya aku masuk ke dalam kamar mandi setelah sebelumnya diam-diam mengambil daster ibu untuk baju gantiku. Berganti baju lalu mencuci mukaku langsung tanpa membersihkan dulu riasan yang ada. Sebodo dah! Aku nggak mau masuk ke dalam kamar mengambil toner pembersih dan kawan-kawannya sementara makhluk berbahaya itu masih membuka mata dan kesadarannya lebar-lebar. Karena itu sangat berbahaya.
Setelah mencuci muka akhirnya aku mencari aman dengan pergi ke dapur. Di dapur masih banyak orang yang masak memasak. Masih banyak saudara-saudara dan para tamu yang bertandang ke rumah, jadi mau tidak mau kami tetap harus memasak banyak makanan untuk mereka.
“Loh loh loh. Mantennya ko malah ke dapur sih. Bukannya berduaan di kamar.” Kudengar godaan dari Mpok Surti, tetangga sebelah rumahku yang berbaik hati membantu keluarga kami.
“Hehee. Haus, Mpok.” jawabku mencari alasan. Dan untuk lebih meyakinkan alasanku, aku segera mendekati lemari es guna mengambil air dingin untuk melegakan kerongkonganku.
“Teriak aja dari kamar kalo haus. Penganten kan jadi raja dan ratu sehari, jadi kami di sini siap jadi dayang-dayangnya.” timpal Mbak Reni sembari terkikik geli sendiri dengan guyonannya.
“Hehee. Nggak lah mbak. Bosen juga kali di kamar terus.” ucapku sembari menuangkan air putih dingin dan meminumnya. Rasanya ingin berlama-lama di sini saja. Tapi pasti akan membuat orang-orang curiga. Akhirnya dengan berat hati aku memutuskan untuk masuk lagi ke kamar dengan segala resikonya.
Namun baru berniat menjauhi dapur saat tiba-tiba kudengar suara ibu memanggilku. “Wuri…sekalian ini dibawa ke kamar.” Kulihat ibu mendekatiku dengan membawa nampan dengan isi 2 piring nasi plus lauknya dan 2 cangkir teh hangat.
“Kalian makan dulu. Buat persiapan tenaga malam ini begadang.” ucap ibu tersenyum penuh makna. “Dan jangan lupa tehnya dihabisin ya.”
Dengan setengah hati kuraih nampan dari tangan ibu. Sambil berpikir, memang nanti malam ada acara apa sampai-sampai harus begadang? Perasaan rangkaian acara untuk kami berdua sudah selesai. Ah sudahlah, sekarang yang harus aku pikirkan bagaimana untuk bisa berada di dalam kamar dan tetap selamat. Rasanya agak menyesal juga dulu tidak mau untuk belajar taekwondo supaya bisa membela diri. Kan kayanya enak tu kalau balado kentang mulai macam-macam, aku bisa langsung memiting dan membantingnya ke lantai. Eh, tapi dosa kan ya? Ah sebodo ah, pokoknya kalau balado kentang mulai macem-macem aku kabur aja dari kamar. Biarin deh orang-orang curiga juga.
“Lado.” panggilku dari depan pintu kamar. Tanganku membawa nampan, jadi susah untuk membuka pintu, jadi dengan terpaksa aku butuh bantuan balado kentang untuk membukakannya.
“Ya?” sahutnya dari dalam kamar.
“Bukain pintu.” Dan tidak usah menunggu lama saat pintu sudah terbuka dengan balado kentang di baliknya.
“Disuruh makan sama ibu.” Dengan baik hati yang tumben-tumbenan dia mengambil nampan dariku dan membawanya masuk ke dalam kamar.
Akhirnya kami makan bersama dalam diam di kamar. Teh hangat yang tersedia juga langsung habis saat itu juga. Lelah dan lapar karena meladeni tamu akhirnya terbayar juga. Perutku sudah terasa kenyang. Dan sekarang saatnya tidur. Aku tidak berniat mandi saat ini. Sengaja, kujadikan salah satu senjata supaya balado kentang tidak macam-macam padaku. Siapa juga kan yang mau grepe-grepe cewek yang nggak mandi. Kecuali orang udah nafsu banget pengen ihik-ihik. Dan aku sih yakin kalau balado kentang nggak nafsu sama aku saat ini. Karena kupikir, kalau dia memang bernafsu padaku pasti dia sudah macam-macam padaku saat aku tertidur tadi.
Setelah membenahi peralatan bekas makan tadi aku segera duduk di meja riasku dan menyisir rambutku yang masih berantakan dengan bekas hairspray tadi. Dengan perlahan dan hati-hati kusisir rambutku yang masih kaku karena bekas hairspray. Namun entah kenapa, tiba-tiba badanku terasa aneh. Eum rasanya gimana ya, susah diungkapkan dengan kata-kata. Tapi satu yang pasti, rasanya tiba-tiba aku ingin mendekati balado kentang daaaannn melakukan apa yang dari tadi berusaha kuhindari. Alamak! Kurasa otakku sudah tidak waras.
Dengan sembunyi-sembunyi aku mencoba mengintip balado kentang dari kaca yang ada di hadapanku saat ini. Dan betapa terkejutnya aku saat ternyata balado kentang juga tengah menatapku. Kami hanya saling menatap di kaca dalam diam. Seolah sama-sama merasakan perasaan aneh yang tiba-tiba melanda tadi. Sekali kedip…dua kali kedip…tiga kali kedip…dan tiba-tiba rasanya seperti disiram air dingin dan disadarkan dari sesuatu yang aneh. Aku bangkit dari dudukku dan segera berniat keluar dari kamar. Sepertinya aku sudah tahu apa yang terjadi. Tidak tidak! Ini salah! Ibuuuuuu apa yang kau lakukan pada anakmu yang polos iniiiiiiii!


TBC

Komentar

Posting Komentar