Life is Never Flat Part 1
Aku hanya bisa melongo tolol menatap pemandangan di hadapan saat ini.
Apa-apaan ini? Ruang tamu rumah yang letaknya berdekatan dengan kamarku,
sudah ramai dipenuhi orang-orang dengan pakaian yang terlihat resmi dan yang
pasti rapi. Pagi-pagi begini? Bahkan orang tuaku juga sudah duduk manis di
antara mereka dengan pakaian yang tidak kalah resmi dan rapi. Perasaan semalam
mereka tidak berkata apa pun bahwa di rumah akan ada acara. Ah sudahlah,
lebih baik aku melanjutkan apa yang akan aku kerjakan tadi. Eh tapi sebentar,
ini aku baru bangun tidur kan ya, rencananya akan menuju ke kamar mandi untuk
bersiap-siap berangkat ke kantor. Nah berarti sekarang aku...
"Alamak." ucapku tersadar dengan pakaian yang hanya berupa
daster minimalis yang pasti acak-acakan sesuai gaya tidurku. Dan ya elah,
rambutku juga kan tadi hanya kujepit asal-asalan saja. Mati aku!
Memalukannyaaaaa. Dengan secepat kilat aku segera berbalik untuk masuk kembali
ke dalam kamarku, berniat berganti pakaian supaya terlihat lebih sopan. Tapi
sebelum itu terjadi, ternyata lenganku sudah dicengkeram erat oleh seseorang.
Dan setelah kutengok, ternyata orang itu adalah ibuku. Ah ibu, tidak tahukah
saat ini anakmu sedang mempermalukan dirinya sendiri.
"Mau ke mana Wuri? Ada tamu ko malah mau ditinggal pergi." ucap
ibuku dengan senyum manisnya yang menurutku justru sangat menyeramkan saat ini.
Bagaimana mungkin ibu rela memperlihatkan anaknya yang hanya berdaster dan
berambut kusut ini ke tamu-tamunya? Huweee.
"Ma...mau ke kamar dulu, Bu. Mau ganti baju. Malu kan nemuin tamu pake
daster begini." bisikku pada ibu dengan tidak lupa memasang wajah memelas
ke arah beliau.
Namun belum sempat ibu menjawab saat tiba-tiba salah seorang tamu, ibu-ibu
yang kukisar pasti sebaya dengan ibu sudah menuju ke arah kami, aku dan ibu.
"Wah, ini ya calon mantennya. Ah, Lado memang pinter milih calon.
Cantik." ucap ibu-ibu tadi dengan senyum sumringah mengamatiku dari atas
hingga ke bawah, membuatku mematung karena kata-katanya.
Hah? Calon manten? Lado? Tunggu tunggu...Sepertinya ada yang tidak beres.
Ini tidak seperti yang kupikirkan kan ya? Dan Lado? Bukan Lado si balado
kentang itu kan ya? Dengan segera aku mengamati semua tamu yang datang hingga
mataku terpaku pada seorang pria setengah ganteng yang sedang menyunggingkan
senyum liciknya ke arahku. Si balado kentang beneran? Argh! Demi boneka
bebekku, kenapa aku harus kenal manusia rese sepertinya sih!
Ehem, tenang Wuri tenang. Kamu wanita sopan dan terhormat. Jadi hadapilah
segala masalah dengan tetap sopan dan terhormat. Oke, tarik nafas hembuskan,
tarik nafas hembuskan.
Ah emaaaaaaak, tapi kalau masalahnya berhubungan dengan Lado pasti akan
terjadi hal-hal buruk padaku. Bagaimana iniiii? Huweee.
"Nah Wuri, kenalkan, ini Tante Rini, Tante Nak Lado. Dan yang lain,
mereka itu keluarga Nak Lado." ucap ibu memperkenalkanku dengan para tamu
yang hanya kubalas dengan anggukan kepala dan senyum kaku.
"Nak Lado membawa keluarganya ke sini buat ngelamar kamu lho, Wuri. Dan
waktu kamu masih tidur tadi kami sudah menetapkan tanggal pernikahan kalian.
Ih, ibu seneng deh. Anak ibu akhir bulan bakalan menikah." ucap ibu lagi
yang langsung membuatku membulatkan mataku kesal. Akhir bulan? Bukannya ini
udah tengah bulan ya? Berarti 2 minggu lagi aku nikah? Ah, tenggelamkan saja
aku.
Dan ini kenapa mendengar kata-kata beliau seolah menunjukkan bahwa memang
inilah yang harus terjadi. Tidakkah ibu curiga? Tidak ada angin tidak ada
hujan, tiba-tiba Lado yang notabene adalah teman perseteruanku membawa badai
sebuah kabar pernikahan kami. Sejak kapan hubungan kami sedekat itu
sampai-sampai ibu tidak curiga dengan semua ini. Huweee apa-apaan ini? Aku
yakin sekali, aku pasti sedang dijebak. Dasar balado kentang menyebalkan!
Tetapi keadaan sudah seperti ini. Sudah tidak mungkin lagi bagiku untuk
menolaknya. Ini semua pasti bagian dari rencana balado kentang menyebalkan!
Sengaja mendatangi rumahku beserta keluarganya saat aku masih tidur, karena dia
tahu setelah sholat subuh aku memang selalu tidur lagi. Dan secepat mungkin
menetapkan tanggal pernikahan supaya aku tidak bisa menolak. Argh dasar rese!
"Ya sudah, mandi sana. Sebentar lagi berangkat ke kantor kan? Tadi Nak
Lado bilang kalian berangkat bareng aja. Yah, sekalian latihan kalau nanti dah
nikah." ucap ibu sembari tersenyum geli sendiri dengan kelakar yang
dibuatnya. Dan dengan menurut aku segera masuk ke dalam untuk segera
bersiap-siap pergi ke kantor. Paling tidak aku diberi kesempatan untuk mencekek
dan menendang balado kentang nanti saat kami berangkat ke kantor bersama. Jadi
sabarkan dirimu Wuri, tidak akan lama lagi.
**********
"Apa maksudnya tadi? Kali ini candaanmu nggak lucu ya." ucapku
menendang tulang kering Lado dengan keras demi meluapkan segala kesalku yang
sedari tadi kutahan. Saat ini kami berada di pinggir jalan. Aku yang memaksanya
menghentikan motor yang dikendarainya karena kami butuh tempat dan waktu untuk
bicara saat ini juga.
"Siapa yang bercanda." jawabnya santai sembari mengelus cepat
kakinya yang kutendang tadi.
"Kalau nggak bercanda, teruuuusss?"
"Kepepet."
"APA? Kepepet?"
"He'um. Nabila anak Tante Rini minta nikah, dan Tante Rini nggak mau
nikahin kalau aku belum nikah. Jadi ya nggak ada cara lain."
Oke. Aku tahu Bila, sepupu Lado yang memang sudah terlalu lengket dengan
kekasihnya. Tidak heran jika mereka akhirnya memutuskan ingin menikah, karena
kuyakin kalau mereka tidak segera dinikahkan bisa-bisa Lado tiba-tiba menjadi
pakde. Tapi yang jadi pertanyaan, kenapa aku? Bukankah hubungan kami tidak
sedekat itu untuk ya, untuk...menikah?
"Kenapa aku?"
"Pengen." jawabnya sangat-sangat santai yang membuatku sangat
kesal. Ngomong-ngomong kenapa rasanya hanya aku yang heboh dan kesal sendiri.
Lagipula jawaban macam apa itu. Tidak bisakah keluar jawaban lain yang lebih
masuk di akalku? Kenapa justru kata 'pengen' yang keluar dari bibirnya. Dasar
balado kentang!
Aish, sebodo! Males dengerin Lado lagi, males nanya-nanya Lado lagi.
Mendingan aku naik angkot ke kantor. Daripada bonceng Lado dan rasanya justru
pengen lompat dari motor. Dengan kesal aku berbalik dan segera berjalan cepat
ke tempat di mana aku bisa menunggu angkot yang menuju ke kantorku. Perduli
setan dengan Lado dan pernikahan!
"Yah yah yah Tut Wuri Handayani. Tunggu!" Kurasakan Lado mengejar
di belakangku. Sebodo sebodo sebodo! Dan tanpa memperdulikannya aku tetap
berjalan dengan kesal hingga tiba-tiba Lado sudah berada di hadapanku dan
merentangkan tangannya menghalangi jalanku. Alamak! Kenapa jadi kaya sinetron
gini coba.
"Apalagi sih. Udah nggak ada yang perlu diomongin lagi kan? Lagian
nggak penting juga aku denger apapun dari kamu. Nggak bakal bisa batalin
pernikahan juga kan." ucapku mendorongnya supaya minggir dari jalanku.
Namun ternyata sebelum aku mendorongnya dia sudah menghindar, sehingga yang ada
aku justru terjungkal ke depan karena kurang keseimbangan. Huweee, tuh kan
pasti gini kejadiannya. Dan tanpa sadar karena malu dan kesal yang sangat aku
sudah menangis di pinggir jalan.
"Huweee...e.ee.."
"Loh loh loh, ko malah nangis. Aduh, brenti nangis dong Wur.
Malu-maluin kan udah gede nangis." ucap Lado mendekatiku mencoba
menenangkanku. Namun aku justru mengeraskan tangisku. Sebodo! Aku udah
terlanjur malu. Sekalian aja malu-maluin!
"Maaf deh maaf. Tadi aku cuma mau godain kamu. Sekarang aku mau jawab
serius deh." bujuknya padaku. Huweee dasar pria penggoda menyebalkan.
"Aku pilih kamu, jujur, karena aku udah bingung. Bila ngancem kalau
awal tahun depan dia nggak nikah dia mau buat anak duluan sama pacarnya. Awal
tahun depan kan cuma tinggal 3 bulan lagi. Dan saat ini aku nggak ada pacar.
Entah kenapa tiba-tiba yang kepikiran buat aku nikahin ya cuma kamu. Maaf deh
Wur, tapi jangan nangis di pinggir jalan gini dong. Banyak yang nontonin."
Dan saat menyadari keadaanku yang benar-benar memalukan, menangis dengan
berjongkok di pinggir jalan, aku segera menghentikan tangisku dan berdiri dari
posisi jongkokku.
"Jadi beneran kepepet?" tanyaku setelah bisa meredakan tangisku.
"He'um." jawabnya dengan wajah murung. Ya elah, sebegitu
kepepetnya ya sampai-sampai muka balado kentang miris begitu.
"Berarti aku dinikahi karena kepepet. Ya elah nggak keren banget
masa." ucapku sembari menghela nafas panjang.
"Banget."
"Huweeee. Padahal aku udah ngebayangin bakalan dilamar manis kaya di
drama-drama pakai makan malam romantis, lilin-lilin di sekitar, terus cincin
yang ditaruh di es krim. Tapi kenapa malah gini. Dilamar pas lagi tidur habis
sholat shubuh dan dilamar karena kepepet. Malangnya nasibku." ucapku lebay
yang tidak mendapatkan respon apa-apa dari balado kentang yang hanya
mengernyitkan bibirnya aneh.
"Kita tetep nikah nih?"
"He'um. Nggak ada cara lain."
"Nggak pake kata tolong gitu? Kan situ yang kepepet balado
kentang." rayuku padanya. Yah, meskipun tidak ada acara lamaran dengan
makan malam romantis dan cinta yang melingkupi kami berdua, tapi paling tidak
aku ingin mendengar satu kata darinya, 'Tolong'.
"Ya elah, iya deh iya. Tolong."
"Jadi tetep nikah?"
"Iya."
"Nikah? Aduuuh, mimpi apa sih aku."
"Udah deh Tut Wuri Handayani. Kita nikah dulu aja, ntar lanjutannya
baru dipikirin lagi." ucapnya meyakinkanku.
"Gitu?"
"He'um."
"Ya udah deh."
Dan akhirnya inilah keputusanku, keputusan kami. Walaupun rasanya ingin
menolak namun kenyataannya aku tidak akan bisa menolak kan. Tanggal sudah
ditetapkan, dan ada ABG liar yang harus kami selamatkan. Jadilah, oke, aku rela
2 minggu lagi aku akan menikah dengan balado kentang.
TBC
Komentar
Posting Komentar